Sabtu, 12 Juli 2008

TUGAS BIOREMEDIASI

TUGAS MATA KULIAH BIOREMEDIASI

Bioremediation of Total Organic Carbon (TOC) in Integrated Aquaculture System by Marine Sponge”

Oleh:

Aris Hantoro

K2D 005 218



IDENTIFIKASI MASALAH

Dalam satu dekade terakhir, produksi perikanan dari sektor akuakultur mengalami peningkatan sedangkan produksi perikanan hasil penangkapan (captured fishery) cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan (Anonim, 2004) Manajemen kualitas air sangat mutlak diperlukan dalam budidaya. Saat ini, kualitas air untuk budidaya semakin memburuk karena tingginya tingkat pencemaran. Industri pertambakan atau aquaculture pun sekarang mulai mendapat sorotan dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena pengunaan pestisida dan bahan-bahan kimia lainnya yang sangat berlebihan pada industri pertambakan atau aquaculture.

Menurut beberapa penelitian, setiap organisme kali operasional tambak kurang lebih 70% bahan organik terakumulasi di dasar tambak.(Anomius , 1995 ), sehingga akumulasi bahan organik berbanding lurus dengan lama waktu budidaya. Menurut Liao et al (1985 ) limbah internal ini menyebabkan kerusakan sedimen dan kualitas air yang rendah. Upaya petani tambak untuk menanggulangi akumulasi bahan organik belum mampu untuk menanggulangi masalah kerusakan tanah akibat akumulasi bahan organik yang berasal dari limbah internal tambak.

Pendekatan Pemecahan Masalah

Teknologi untuk mengolah berbagai polutan dengan menggunakan bahan-bahan kimia masih sangat mahal. Upaya pengolahan limbah B3 baik di darat (tanah dan air tanah) ataupun di laut telah banyak dilakukan dengan menggunakan tehnik ataupun metoda konvensional dalam mengatasi pencemaran seperti dengan cara membakar (incinerasi), menimbun (landfill), menginjeksikan kembali sludge keformas minyak (slurry fracture injection) dan memadatkan limbah (solidification). Teknologi teknologi ini dianggap tidak efektif dari segi biaya (cost effective technology), waktu (time consuming) dan juga keamanan (risk).

Bioremediasi dapat dikatakan sebagai proses yang menggunakan mikroorganisme, fungi, tanaman hijau atau enzyme yang digunakan untuk mengembalikan kondisi suatu lingkungan yang telah tercemar kepada kondisi semula. (http://en.wikipedia.org/wiki/Bioremediation).

Proses bioremediasi ini dapat dilakukan secara bioaugmentasi yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisma baik yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat (improved/genetically engineered strains), dan biostimulasi yaitu suatu proses yang dilakukan melalu penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh mikroorganisma atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa (misalnya pemberian aerasi) agar mikroorganisma tumbuh dan beraktivitas lebih baik (Irianto, 2001).

Penggunaan sistem bioremedasi sendiri disebabkan berbagai keuntungan yang bisa diperolah seperti relative aman karena menggunakan organisme. Bioremediasi sendiri bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi :

  • stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb

  • inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus

  • penerapan immobilized enzymes

  • penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar. (http://Pencemaran Lingkungan online.com//)

Konsep Teoritis

Spons (Porifera) merupakan hewan multiseluler yang paling primitif. Hewan ini hidup menetap di dasar perairan. Bergquist (1978) mengatakan bahwa sebagian besar spons mengambil makanan dengan cara menyaring bahan organik yang terdapat di air. Hampir 99% spons hidup di perairan laut.

Spons laut memiliki potensi bioaktif yang sangat besar. Selama 50 tahun terakhir telah banyak kandungan bioaktif yang telah ditemukan. Kandungan bioaktif tersebut dikelompokan beberapa kelompok besar yaitu antiflammantory, antitumor, immunosuppessive, antivirus, antimalaria, antibiotik, dan antifouling (Sipkema et al,. 2004).

Sumber senyawa bioaktif

Spons dapat memproduksi racun dan senyawa lain yang digunakan untuk mengusir predator (Uriz et al.,1996a; Pawlik et al., 2002), kompetisi dengan hewan sesil lain (Porter andTargett, 1988; Davis et al., 1991; Becerro et al., 1997) dan untuk berkomunikasi dan melidungi diri dari infeksi. Zhang et al., 2003 menyatakan bahwa lebih dari 10 % spons memiliki aktifitas citotoksik yang dapat yang berpotensial untuk bahan obat-obatan.

Beberapa jenis spons yang telah diketahui kandungan bioaktifnya

Species

Ordo

Immunosuppressive


Agelas oroides

Agelasida

Dysidea sp.

Dendroceratida

Xestosponga berquistia

Haplosclerida

Blood related disease


Eryltus formosus

Astrophorida

Halichondria okadai

Halichondrida

Callyspongia truncata

Haplosclerida

Neurosupressive and muscles relaxan

Agelas sp.

Agelasida

Penares sp.

Astrophorida

Xetospongia sp.

Haplosclerida

Antivirus


Agelas sp.

Agelasida

Penares sp.

Astrophorida

Dysidea herbacea

Dendroceratida

Tedania digitata

Poecilosclerida

Antimalaria


Acanthella sp.

Halichondrida

Haliclona sp.

Haplosclerida

Diacarnus levii

Poecilosclerida

Antifouling


Erylus formosus

Astrophorida

Lendenfeldia chondrodes

Dictyoceratida

Acanthella cavernosa

Halichondrida

Pseudoceratina purpurea

Verongida

Antiinflammantory


Jaspis splendens

Astrophorida

Dysidea sp.

Dendroceratida

Petrosaspongia nigra

Dictyoceratida

Antibakteri and antifungi


Discodermia kiiensis

Lithistida

Topsentia sp.

Halichondrida

Anti tumor


Aaptos aaptos

Hadromerida

Auletta sp.

Halichondrida

Xestospongia cf carbonaria

Haplosclerida

Callyspongia truncata

Haplosclerida

Sumber: modifikasi dari Sipkema et al.,2005


Penggunaan spons sebagai senyawa obat-obatan sudah berlangsung sejak lama. Sejarawan Romawi mengatakan Para tabib di Alexandria menggunakan sponge yang dicampurkan dengan bahan beberapa tanaman untuk bahan anastesi (Hofrichter and Sidri, 2001 dalam Sipkema et al, 2005). Pada saat ini Stodal (Gambar ) sirup yang digunakan di barat untuk pengobatan penyakit asma, mengandung Spongia officinalis. (Stodal, 2003 ). Pada spons juga telah ditemukan berbagai senyawa yang dapat digunakan sebagai campuran obat seperti senyawa antitumor, antivirus, antibakteri, antijamur, antifouling, antimalaria dan lain-lain.

Pada spons terdapat populasi mikroorganisme simbiotik. (Lee et al., 2001;Richelle-Maurer et al., 2003). Simbion tersebut seperti archaea bakteria, sianobakteri, dan mikroalgae. Mikrooranisme tersebut merupakan sumber metabolit sekunder (Bewley and Faulkner, 1998; Lee et al., 2001; Proksch et al., 2002). Sebagai contoh, antibiotik polybrominated biphenyl ether yang diisolasi dari Dysidea herbacea sebenarnya dihasilkan oleh endosimbiotik sianobakterium. Fungi yang berasosiasi dengan spons diketahui pula menghasilkan senyawa bioaktif (Holler et al., 2000).

Bioindikator

Spons jenis Crambe crambe dapat digunakan sebagai biomonitor untuk kontaminasi polutan di perairan. Spons jenis ini dapat mengakumulasi tembaga, timbal dan vanadium didalam jaringannya. Selain itu, pengaruh kandungan polutan juga dapat dilihat dengan adanya respon pada pertumbuhan, fekunditas dan tingkat kelangsungan hidup spons tersebut (Cebrian et al.,2003).

Petrosia tertudinaria digunakan sebagai biomarker untuk mendeteksi kandungan logam berat daerah perairan pantai (0,5-1 km) dan lepas pantai (5-7 km) di teluk Mannar, India. Dari hasil penelitian tersebut diketahui dari sponge yang diambil dari daerah periran pantai mengandung konsentrasi logam berat lebih besar dari pada lepas pantai. Konsentrasi logam berat di daerah perairan pantai lebih besar 0,13 sampai 64 kali lebih besar dari pada perairan lepas pantai (Rao et al., 2006). Suberites domuncula dapat juga digunakan sebagai biomarker bagi kondisi lingkungan yang mengalami terkanan oleh cadmium dan bakteri (Wagner et al.,1998)

Hal diatas inilah yang mendasari penggunaan sponge untuk bioremidiasi, seperti yang telah diketahui bahwa spons Spons jenis Crambe crambe dapat digunakan sebagai biomonitor untuk kontaminasi polutan di perairan. Spons jenis ini dapat mengakumulasi tembaga, timbal dan vanadium didalam jaringannya. Selain itu, pengaruh kandungan polutan juga dapat dilihat dengan adanya respon pada pertumbuhan, fekunditas dan tingkat kelangsungan hidup spons tersebut (Wagner et al.,1998).

Pencemaran Pada Sistem Budidaya Tambak

  1. Residu Antibiotik dan Pestisida

Penggunaan antibiotika dan pestisida cenderung tidak baik dan hanya berefek jangka pendek. Penggunaan kedua bahan ini akan meninggalkan residu yang akan terendapkan di sedimen pada budidaya budidaya tambak. Residu antibiotik akan tetap berada pada produk hewan hingga jangka waktu tertentu dan menyebabkan tekanan selektif pada mikroorganisme, memacu munculnya resistensi pada beragam bakteri dan memungkinkan transfer gen-gen resisten ke bakteri lainnya. Pada sedimen, residu dapat merubaha komposisi kimai tanah, akan terjadi perubahan sifat organik dan organik dari sedimen.

Residu antibiotik dan pestisida tidak selalu datang dari aktivitas akuakultur tetapi dapat berasal dari luar lingkungan akuakultur. Antibiotik dapat berasal dari aktivitas pengendalian penyakit yang tidak terkendali akibat kurangnya pemahaman, atau pelaksanaan yang tidak bertanggung jawab. Pencemaran sulit dihindari karena hingga saat ini tertib peruntukan lahan atau zonasi kegiatan ekonomi, penanganan limbah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya mempertahankan kualitas sumber daya perairan masih relatif rendah

  1. Akumulasi Bahan Organik

Pada budidaya budidaya tambak sering terjadi akumulasi material organik yang akan mengalami transformasi menjadi amonia. Adanya amonia yang terdapat di budidaya budidaya tambak akan sangat mengganggu kehidupan udang atau komoditas yang dibudidayakan. Reaksi antara oksidasi amonia menjadi nitrat dalam nitrifikasi adalah terbentuknya nitrit. Adanya nitrit yang tinggi juga mengganggu kehidupan udang maupun mikroorganisme lainnya. Telah dilakukan penelitian secara laboratoris untuk melihat aktifitas maupun populasi bakteri pelaku nitrifikasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kondisi reduktif budidaya budidaya tambak tidak mematikan bakteri pelaku nitrifikasi, pertumbuhan bakteri pelaku nitrifikasi dapat berlangsung secara cepat pada medium dan kondisi lingkungan yang mencukupi, jumlah bakteri heterotrop yang tinggi tenyata tidak diikuti oleh aktivitas yang tinggi dalam melakukan proses nitritasi maupun nitratasi dan proses nitrifikasi budidaya budidaya tambak didominasi oleh aktifitas kelompok bakteri autotrof Pada tingkat pencemaran yang rendah pada danau atau aliran sungai, permasalahan pakan dapat diatasi secara alami melalui proses yang dikenal sebagai pulih diri (self purification).

Pada proses pulih diri, cemaran organik akan mengalami biodegradasi oleh flora mikroorganisme pada perairan tersebut dan setelah waktu tertentu kondisi perairan pulih seperti semula. Jika kuantitas pencemar dalam badan air cukup tinggi, proses pulih diri tidak dapat berlangsung sempurna, perairan mungkin akan menjadi kekurangan oksigen (anoksik) dan mati akibat tidak ada hewan atau tumbuhan air yang mampu hidup di dalamnya. Pada kasus dimana kuantitas cemaran materi organik tinggi maka dapat dilakukan proses bioaugmentasi dan/atau biostimulasi. ( Irianto,2007)

PROSEDUR APLIKASI DAN PENGEMBANGAN PENGGUNAAN SPONGE DALAM SISTEM BIOREMEDIASI USAHA PERBAIKAN BUDIDAYA TAMBAK

Bioremediasi merupakan sistem pengembalian kondisi lingkungan yang sudah tercemar kembali pada kondisi awal. Teknik bioremediasi ini pada budidaya tambak dengan sponge untuk menormalkan kembali kondisi budidaya tambak yang telah rusak akibat bakteri yang terdapat dalam tambak tersebut yang dapat menimbulkan penyakit pada organisme budidaya serta dapat menghilangkan TOC (total Organik Carbon) dalam system budidaya.

Pada spons terdapat populasi mikroorganisme simbiotik. (Lee et al., 2001; Richelle-Maurer et al., 2003). Simbion tersebut seperti archaea bakteria, sianobakteri, dan mikroalgae. Dalam usaha melakukan remediasi pada organisme tambak dengan sponge, perlu dilakukan analisa menyeluruh akan kandungan berbagai bahan organik dan anorganik yang terdapat pada lingkungan tambak (Subagyo, 2008).

Langkah selanjutnya adalah dengan menentukan jenis sponge yang bisa digunakan dalam melakukan remediasi. Langkah awal dalam penentuan jenis bakteri ini adalah dengan mencari sponge yang cocok untuk dapat melakukan remedisi terhadap sitem budidaya tambak. Dari berbagai jenis sponge yang didapatkan, selanjutnya dapat ditentukan suatu sponge tertentu. sponge ini yang akan diaplikasikan secara langsung ke lingkungan tambak. Spons memiliki kemampuan menyaring 80% kandungan partikel terlarut di perairan. Kemampuan ini menjadi salah satu pertimbangan untuk menggunakan sponge sebagai pengumpul mikroorganisme polutan (Claus et al., 1967. Sponge Chondrilla nucula dapat mengakumulasi bakteri dalam jumlah besar. Koloni dengan ukuran satu meter persegi dapat menyaring 14 liter per jam air laut dengan kandungan 7-10 pangkat 10 sel bakteri perjam(Milanese et al., 2003).

Penelitian oleh Stabili etal.,2006,menyatakan sponge Spongia officinalis var. adriatica (Schmidt) dapat menyaring bacterioplankton. Spons memanfaatkan bakteri sebagai sumber makanan. Konsentrasi bakteri mengalami penurunan yang signifikan, setelah 2 jam percobaan. Biomassa bakteri ngemalami penurunan dari 11.771.4 mgCL menjadi 0.009 mgCl. Hal ini yang menjadi pertimbangan bahwa spons dapat digunakan untuk bioremidiasi.


KESIMPULAN

  1. Bioremediasi merupakan sistem pengembalian kondisi lingkungan yang sudah tercemar kembali pada kondisi awal dengen menggunakan agensia biologi.

  2. Sponge dapat digunakan untuk menghilangkan TOC dalam system budidaya tambak.


DAFTAR PUSTAKA

Bioremediation. http://en.wikipedia.org/wiki/Bioremediation

Diaz, M. C., and B. B. Ward. 1997. Sponge-mediated nitrification in tropicalb benthic communities. Mar. Ecol. Prog. Ser. 156:97–107.

Milanese, M., E. Chelossi, R. Manconi, A. Sara, M. Sidri, and R. Pronzato. 2003. The marine sponge Chondrilla nucula Schmidt, 1862 as an elective candidate for bioremediation in integrated aquaculture. Biomol. Eng. 20: 363–368.

Rusmana, Iman dan Tri Widiyanto 2006 Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Nitrat Disimilatif Dan Nitrifikasi Sebagai Agens Bioremediasi Untuk Mengontrol Kadar Amonia Dan Nitrit Di Budidaya budidaya tambak Udang PT. Garam Kabupaten Sumenep Pasca Panen dan Keterkaitannya dengan Faktor Lingkungan Okid Parama Astirin. http://jurnal.aquaculture-mai.org/vol5no2.pdf.

Subasinghe, R., M.J. Phillips dan A.G.J. Tacon Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific (NACA) http://www.fao.org/

Subagyo, IR. MSc. 2008. Bioremediasi pada Aquakultur. Bahan Mata Kuliah Bioremediasi Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro, Semarang.

http://id.wikipedia.org/

http://www.pulitzer.org/

Yudhi Soetrisno Garno. 2001. Pengembangan Industri Budidaya Udang di Budidaya budidaya tambak Kedap Air dan Beban Pencemaran Limbahnya Pada Parairan Pantai. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.3, No.5, (Agustus 2001),hal.70-76

Widiyanto, Tri. 2006. Kuartet Bakteri Bioremediasi.TEMPO Interaktif,



Tidak ada komentar: